Selasa, 30 Desember 2014

2 things...

Malam ini saya teringat dua hal yang pernah saya bagikan kepada seorang rekan pemuda beberapa bulan yang lalu.

Dua hal itu berkaitan dengan bagaimana cara kita menghadapi perkataan dan sikap yang tidak menyenangkan terhadap diri kita.

Dua hal itu adalah:
1. No hard feeling.
2. Don't take it too personally.

Kedua hal tersebut akan menjadi PR harian kita di dalam menjalani kehidupan.

Terkadang kita memang tergoda untuk menanggapi dan membalas apa yang orang katakan atau lakukan terhadap kita. Di sisi lain kita mungkin kurang memikirkan ataupun meresponi apa yang Allah katakan tentang kita.

Kadang Allah dapat memakai orang lain untuk mengatakan apa yang sebenarnya Ia inginkan dari kita, sehingga perkataan atau tindakan orang lain dapat menjadi bahan introspeksi diri.

Kadang juga Allah memakainya untuk membentuk kita jadi makin tahan uji dan tetap setia melakukan apa yang dikehendaki Tuhan, sekalipun ada banyak penentang.

Untuk itu:
1. Jika kita telah mengatakan dan melakukan apa yang benar, mengapa kita harus marah kepada orang yang berkomentar dan berlaku tidak baik kepada kita?

2. Jika kita ternyata salah, maka kita tidak pantas untuk marah. Justru seharusnya memperbaiki diri.

3. Tidak ada yang mudah dalam hidup. Masa-masa bergumul dengan sesama adalah sebuah proses yang melatih kepribadian dan karakter kita. Nikmatilah pahitnya karena akan berakhir manis di tangan Allah.

(Bukankah Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang sungguh-sungguh mengasihi Dia?)

Senin, 29 Desember 2014

Just thought...

Ketika pelayanan hanya sekedar aktivitas, mungkin ada sesuatu di dalamnya yang mati.

Sekali lagi tentang Natal

Nampaknya tidak semua orang dapat menikmati masa Natal tahun ini. Paling tidak beberapa orang berkata kepada saya bahwa mereka tidak mendapatkan apa-apa dalam ibadah Natal tahun ini.

Mungkin kita akan cenderung menanyakan sekaligus menyalahkan, apakah acaranya? Musiknya? Yang pimpin pujiannya? Atau bingkisannya?

Terlepas dari semua itu, pertanyaan berikut ini mungkin sering ditanyakan tapi jarang direnungkan dengan sungguh-sungguh: bagaimana persiapan pribadi kita menyambut Natal? Apakah dimulai dengan aktivitas belaka atau beriringan dengan hal yang spiritual?

Cara kita menyambut Natal akan menunjukkan apakah Natal masih punya arti dalam hidup kita sebagai orang percaya.

Natal dimulai bukan dengan apa yang kita dapatkan, tapi dengan apa yang Allah berikan. Tanpa Allah memberikan, maka kita tidak akan mendapat apapun.

Hanya saja, ada orang yang menganggap bahwa mereka layak mendapatkan yang lebih. Ketika yang diharap tidak terwujud maka akan muncul komentar dan gosip. Akhirnya, kepahitan muncul dan mengakar.

Kalau mau jujur, mungkin kita tidak sedang merayakan Yesus. Kita sedang merayakan kemampuan kita ataupun ketidakmampuan orang lain menyiapkan acara yang bagus dan dapat dikenang lama.

Yang tidak terlibat dalam kepanitiaan akan mengomentari panitianya...demikian sebaliknya jika kepanitiaan berganti di event berikutnya.

Orientasinya bagaimana memuaskan jemaat yang hadir, bukannya bagaimana menolong jemaat yang hadir memuaskan hati Allah.

Natal seolah tidak lagi spiritual, hanya kulitnya, tapi di dalamnya di penuhi aktivitas demi aktivitas...sudah terlalu lama kita membaliknya seperti itu...sehingga, jenuh...capek...gak mau jadi panitia atau pelayan Natal lagi, jadi curhat rutin setiap tahun.

Kalau gitu Natal untuk apa dan siapa sih sebenarnya jika kita merasa seperti itu?

(Kita perlu belajar kembali kepada kesederhanaan Natal ditengah glamournya perayaan dunia - bahkan gereja - saat ini).

Sekali lagi tentang Natal

Nampaknya tidak semua orang dapat menikmati masa Natal tahun ini. Paling tidak beberapa orang berkata kepada saya bahwa mereka tidak mendapatkan apa-apa dalam ibadah Natal tahun ini.

Mungkin kita akan cenderung menanyakan sekaligus menyalahkan, apakah acaranya? Musiknya? Yang pimpin pujiannya? Atau bingkisannya?

Terlepas dari semua itu, pertanyaan berikut ini mungkin sering ditanyakan tapi jarang direnungkan dengan sungguh-sungguh: bagaimana persiapan pribadi kita menyambut Natal? Apakah dimulai dengan aktivitas belaka atau beriringan dengan hal yang spiritual?

Cara kita menyambut Natal akan menunjukkan apakah Natal masih punya arti dalam hidup kita sebagai orang percaya.

Natal dimulai bukan dengan apa yang kita dapatkan, tapi dengan apa yang Allah berikan. Tanpa Allah memberikan, maka kita tidak akan mendapat apapun.

Hanya saja, ada orang yang menganggap bahwa mereka layak mendapatkan yang lebih. Ketika yang diharap tidak terwujud maka akan muncul komentar dan gosip. Akhirnya, kepahitan muncul dan mengakar.

Kalau mau jujur, mungkin kita tidak sedang merayakan Yesus. Kita sedang merayakan kemampuan kita ataupun ketidakmampuan orang lain menyiapkan acara yang bagus dan dapat dikenang lama.

Yang tidak terlibat dalam kepanitiaan akan mengomentari panitianya...demikian sebaliknya jika kepanitiaan berganti di event berikutnya.

Orientasinya bagaimana memuaskan jemaat yang hadir, bukannya bagaimana menolong jemaat yang hadir memuaskan hati Allah.

Natal seolah tidak lagi spiritual, hanya kulitnya, tapi di dalamnya di penuhi aktivitas demi aktivitas...sudah terlalu lama kita membaliknya seperti itu...sehingga, jenuh...capek...gak mau jadi panitia atau pelayan Natal lagi, jadi curhat rutin setiap tahun.

Kalau gitu Natal untuk apa dan siapa sih sebenarnya jika kita merasa seperti itu?

(Kita perlu belajar kembali kepada kesederhanaan Natal ditengah glamournya perayaan dunia - bahkan gereja - saat ini).

Jumat, 19 Desember 2014

Unexpected people

Mereka hanyalah sekumpulan orang yang tak pernah diharapkan ada sebelumnya.

Mereka dipandang sebelah mata dan tak dianggap keberadaannya.

Mereka diam dalam sunyi namun bekerja dengan hati dan itu mengubah suasana hari.

Mereka terbang memutari bumi
Dengan sayapnya yang putih
Memberi bukti bukan janji
Memberi rasa bukan iri

Mereka yang tak diharapkan ini
Telah menjadi pembawa harapan
Menggugah hati...
Menggugah nurani...

Sesungguhnya kehidupan memulai petualangannya sewaktu meresponi panggilan ilahi...

Kamis, 18 Desember 2014

Christmas without Jesus

Dan bulan Desember tiba...sekali lagi...dan kita bersibuk ria mempersiapkan acara Natal 'terbaik' yg bisa kita tawarkan kepada jemaat.

Dan kesibukan itu menyita banyak sekali waktu kita, sehingga kita tak menyadari bhw Yesus telah kita tinggalkan dan kita gantikan dengan segala macam perayaan yg gegap gempita.

Semua kesibukan itu terkadang bukan untuk Tuhan, tapi untuk eksistensi kita, entah sebagai rohaniwan, majelis, pengurus ataupun aktivis. Yesus tidak lagi menjadi fokus perayaannya. Yesus hanya menjadi sekedar hiasannya.

Padahal dulu Ia datang dalam kesederhanaan, tanpa program yang menargetkan berapa banyak orang yang akan hadir dan acara apa yang akan dibuat supaya orang tertarik untuk hadir.

Kala itu yang hadir hanyalah sekelompok kecil gembala, dan acara tunggalnya adalah menyembah sang Raja dalam suasana yang dipenuhi kehangatan. Ada pengharapan yang semakin besar di sana. Pengharapan yang mereka juga bagikan kepada sesama.

Kemudian ada sekelompok majus yang menempuh perjalanan amat jauh untuk mengalami sukacita yang penuh. Letih karena perjalanan jauh menemukan tempat untuk jiwa berteduh.

Natal bukan bicara tentang siapa saya dan kamu. Natal bicara tentang Yesus. Natal bicara tentang pengharapan, sukacita, dan keselamatan.

Natal adalah Yesus.
Mari kita merayakan Yesus.
Disitu kita akan menjumpainya...

(Dan tak ada kata-kata yang cukup pantas menggambarkan keindahan perjumpaan dengan sang Juruselamat itu)