Selasa, 11 Oktober 2022

Bila saja...

Kalau saja...

adalah kata-kata yang sering kita ucapkan,

jika waktu dapat diputar kembali,

dan kita bisa mengulangi peristiwa yang telah terjadi,

tahu apa yang harus kita perbaiki,

ketimbang sekedar mengulangi.


Namun waktu,

akan terus berjalan maju tiada berhenti,

sekeras apapun kita mencoba kembali,

ia tak akan pernah mengulangi,

perjalanan yang pernah ditempuh untuk kedua kali.


Mensyukuri hari ini,

adalah kesempatan untuk memperbaiki diri,

agar masa depan jadi harapan,

dan bukannya lembah penyesalan.


(karena hidup bukan untuk masa lalu, kenangannya menjadi pembelajaran untuk hari ini dan esok).


Kamis, 06 September 2018

Melayani...

Melayani...
Adalah sebuah anugerah,
Sebuah kesempatan,
Untuk meresponi kasih-Nya...
Bukan sekedar kebanggaan,
Ataukah prestasi dan pencitraan,
Namun hanya pengabdian dan penyerahan,
Yang membawa nurani...
Kembali pada panggilan kasih...
Mengikuti jejak semula yang terpatri,
Pada jalan penyangkalan diri..
Dan aku disini sekali lagi...
Dengan kesempatan yang Ia beri...
Aku melayani-Nya, bukan diri sendiri.
Karena aku yang melayani ego pribadi telah mati...
Dan Ia membangkitkan aku untuk merendahkan diri...

Aku melayani, karena kasih...

(Karena seringkali kasih tidak lagi menjadi bagian dari pelayanan kita hari ini...)


Sabtu, 26 Maret 2016

tanpa judul

Kadang aku begitu sedih dengan kehidupan...
orang bisa jadi begitu egois dan menusuk dari belakang...
ternyata senyuman bisa jadi topeng kejahatan, bukan lagi wajah asli ketulusan...
dan kita tak lagi bisa turut tersenyum dengannya...
tak bisa pula menutup mata dan membiarkannya keterusan...
aku ingin berteriak: Hentikan! Hentikan! Hentikan!
namun terdengar sumbang di telinga banyak orang...
yang menatapku dengan pandangan aneh, seolah teriakanku itu...
bertentangan dengan jalan kehidupan...
Dan hitam membawa kegelapan ke taman bermain,
ia mencoba membunuh kehidupan...
menyeringai ia tersenyum penuh kelicikan,
aku tusuk kau dari belakang...tidak, dari depan saja....
dan ketika kebenaran berhasil dibungkamnya.
Merdeka mati dan tirani bangkit....
namun mereka lupa itu hanya sementara...
sayup-sayup ku dengar suara bernyanyi:
kehidupan mungkin bisa mati, tapi kebenaran akan tetap hidup selamanya.

(tulisan yang tertunda setahun lebih...)

Jumat, 25 Maret 2016

Golgota...

Saya mencoba membayangkan kembali apa yang terjadi di bukit Golgota itu. Ada jeritan, tangis, cemooh dan caci maki dari orang-orang, juga tawa bahagia dari sekelompok orang yang puas karena berpikir rencana mereka sudah berhasil. Sementara di Sorga, para malaikat terdiam, namun tetap waspada, menyadari bahwa yang terjadi di bukit Golgota itu adalah bagian dari rencana Allah untuk membebaskan manusia, walau teramat pahit.

Dan ketika saya membayangkan kayu salib dimana Yesus terpaku atasnya, saya turut terdiam melihat kepala yang bermahkota duri, darah yang menetes disekujur tubuh, dan kesakitan meregang nyawa. Saya tak bisa membayangkan kesakitan yang lebih dari itu. Bukan sekedar sakit karena luka akibat siksaan, tapi juga sakit yang ditanggung karena penolakan manusia kepada keselamatan. Di bukit itu saya menyaksikan keegoisan manusia yang dengan sadar mengabaikan kenyataan bahwa mereka telah membunuh Tuhannya sendiri.

Kembali ke zaman ini, dua ribu tahun lebih telah berlalu. Golgota mungkin hanya tinggal kenangan. Tempatnya mungkin hanya menjadi lokasi sejarah yang dikunjungi banyak orang. Kini, bermunculan Golgota-golgota yang baru, bukan secara lahiriah, tapi secara batiniah. Bukan Golgota yang menjadi saksi keselamatan yang dikerjakan Allah dalam diri Yesus yang tersalib, tapi Golgota yang menjadi saksi keegoisan manusia yang hari ini terus bertumbuh dengan subur, dan dengan kesadaran yang penuh manusia berusaha menyalibkan Yesus untuk kesekian kalinya.

Dan mungkin saya termasuk golongan orang-orang yang berusaha menyalibkan-Nya untuk kesekian kalinya. Mungkin saya termasuk mereka yang menganggap Yesus harus mati lagi, lagi, dan lagi, untuk membuat kami jadi lebih berharga hari ini. Atau mungkin saya ingin menyalibkan-Nya lagi karena saya sesungguhnya adalah golongan Imam Kepala dan orang Farisi yang dianggap mengerti Hukum, yang selalu berpikir bahwa kami lebih baik dari kebanyakan orang, sehingga kami dapat menuduh orang yang berdosa. Mungkin saja, saya adalah golongan orang yang lebih mudah melihat selumbar di mata orang lain ketimbang balok di mata sendiri, sehingga saya seperti orang yang ada di menara gading kebenaran, sementara orang lain ada di lembah penuh kesalahan.

Mungkin Golgota kebanyakan orang hari ini, bukanlah tempat kengerian dan hukuman, yang sekaligus menjadi tempat Allah menunjukkan konsistensinya untuk mengasihi manusia berdosa. Mungkin Golgota kebanyakan orang hari ini, adalah tempat dimana kayu salib digantikan dengan kemapanan dan keinginan untuk memperkaya lahiriah manusia ketimbang batiniahnya. Kemapanan yang membuat manusia enggan untuk memikirkan penderitaan dan konsekuensi mengikut Yesus. Kemapanan yang membuat manusia terbuai dalam zona amannya, sehingga mulai menilai segala sesuatu dari perspektif dunia. Kemapanan yang membuat manusia kehilangan kepekaan akan hadirat Tuhan, dan mulai mempertanyakan kebenaran Allah dan semakin permisif dengan kebenaran versi dunia. Kemapanan yang membuat Yesus tidak lagi populer bagi para pengikut-Nya. Kemapanan yang membuat kerohanian menjadi barang usang, dan percaya kepada Tuhan tergantung "sinyal dan kondisi jaringan".

Saya tidak ingin Golgota saya menjadi seperti itu. Saya ingin seperti Maria, Yohanes, dan orang-orang lainnya, yang berani berdiri di garis depan menghadapi cemoohan orang-orang terhadap Yesus. Saya ingin meneladani Yesus yang tidak membalas cacian dengan cacian, makian dengan makian, hinaan dengan hinaan. Saya ingin seperti Yesus yang dengan rendah hati mengampuni orang-orang yang berbuat jahat kepada-Nya, sekalipun Ia ada dalam keadaan kesakitan. Saya ingin Golgota mula-mula itu, tetap menjaga dan mengingatkan saya, bahwa hidup saya hari ini ada karena anugerah Allah yang mengalir di Golgota.

Golgota juga kiranya mengingatkan saya bahwa kebaikan dapat membuahkan penolakan. Tapi, kasih tak pernah gagal. Golgota menunjukkan kemenangan kasih atas kegagalan manusia mencerna kebaikan Allah. Golgota mengingatkan saya bahwa Tuhan tak pernah menyerah atas manusia, termasuk diri saya, berapapun banyaknya usaha saya untuk menjauh daripada-Nya.

(Terima kasih Tuhan, untuk kayu salib, untuk Golgota. Tanpa itu hidup saya tak akan berbeda).

Selasa, 03 November 2015

Just You

Di hari ini...
Tak cukup kata yang terucap
Hanya ada syukur yang tak terkira
Dalam suka ataupun duka
Dia tak pernah berubah setia
Selalu peduli dan tak kenal menyerah
Meraih diriku dalam naungan-Nya
Di hari ini...
Aku tak ingin yg lain...
Aku hanya ingin diri-Mu
Aku hanya ingin Yesus
Tetap menjadi pusat hidupku

Kamis, 09 April 2015

Just another thought

Dahaga hanya dapat dipuaskan ketika kita minum, bukan makan...

Kantuk hanya dapat dihilangkan ketika kita tidur, bukan begadang...

Dosa hanya dapat dihapus oleh kematian yang menghidupkan, bukan oleh kehidupan yang mematikan...

Minggu, 15 Februari 2015

Just thought

Otentik itu sesuatu yg natural, alamiah, gak pake pencitraan, gak perlu tanggapan like or dislike...

Otentik itu mengalir keluar dari dlm diri...

Apakah kamu otentik?

Selasa, 30 Desember 2014

2 things...

Malam ini saya teringat dua hal yang pernah saya bagikan kepada seorang rekan pemuda beberapa bulan yang lalu.

Dua hal itu berkaitan dengan bagaimana cara kita menghadapi perkataan dan sikap yang tidak menyenangkan terhadap diri kita.

Dua hal itu adalah:
1. No hard feeling.
2. Don't take it too personally.

Kedua hal tersebut akan menjadi PR harian kita di dalam menjalani kehidupan.

Terkadang kita memang tergoda untuk menanggapi dan membalas apa yang orang katakan atau lakukan terhadap kita. Di sisi lain kita mungkin kurang memikirkan ataupun meresponi apa yang Allah katakan tentang kita.

Kadang Allah dapat memakai orang lain untuk mengatakan apa yang sebenarnya Ia inginkan dari kita, sehingga perkataan atau tindakan orang lain dapat menjadi bahan introspeksi diri.

Kadang juga Allah memakainya untuk membentuk kita jadi makin tahan uji dan tetap setia melakukan apa yang dikehendaki Tuhan, sekalipun ada banyak penentang.

Untuk itu:
1. Jika kita telah mengatakan dan melakukan apa yang benar, mengapa kita harus marah kepada orang yang berkomentar dan berlaku tidak baik kepada kita?

2. Jika kita ternyata salah, maka kita tidak pantas untuk marah. Justru seharusnya memperbaiki diri.

3. Tidak ada yang mudah dalam hidup. Masa-masa bergumul dengan sesama adalah sebuah proses yang melatih kepribadian dan karakter kita. Nikmatilah pahitnya karena akan berakhir manis di tangan Allah.

(Bukankah Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang sungguh-sungguh mengasihi Dia?)