Kamis, 26 Desember 2013

Back to the Christmas

Apa yang dicari manusia saat merayakan Natal?
Mungkin baju dan sepatu baru…
Mungkin gadget dan elektronik baru…
Mungkin diskon besar-besaran di pusat perbelanjaan…
Mungkin hiburan yang spektakuler…
Mungkin acara di Gereja yang meriah…
Mungkin kesempatan berkumpul bersama dengan keluarga…
Mungkin liburan ke luar kota…
Mungkin hadiah-hadiah yang bisa didapatkan…
Mungkin pacar yang baru…
Mungkin perhatian dan kasih sayang
Mungkin mencari arti dari sebuah kehidupan
Mungkin…dan mungkin saja semuanya itu yang terjadi di bulan Desember.

Apa yang dicari Tuhan saat Natal?
Lebih spesifik lagi, siapa yang dicari oleh-Nya saat Natal?
Ya. Ia mencari engkau dan saya…
Ia mencari adakah hati yang bersedia menjadi kandang bagi-Nya
Adakah pribadi yang bersedia menjadi palungan untuk tempat-Nya berbaring
Adakah jiwa-jiwa yang bersukacita menyambut kehadiran-Nya dalam dunia

Peristiwa Natal adalah sebuah peristiwa Allah menyapa umat-Nya. Allah mengunjungi ciptaan-Nya. Diam ditengah-tengah mereka. Perjumpaan itu menjadi sebuah peristiwa yang mengharukan, membangkitkan semangat, sekaligus menyegarkan.

Lihatlah, siapa yang datang? Siapa yang meninggalkan tahta mulia untuk blusukan ke dalam dunia? Alkitab mengatakan bahwa Dialah Yesus, yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa-dosa mereka. Inilah berita Natal: Allah datang untuk menyapa umat-Nya. Ia datang untuk menyapa Saudara dan saya. Ia datang untuk berbagi isi hati-Nya dengan kita. Inilah Natal. Inilah cara Allah memberitahu kita bahwa kita tidak ditinggalkan sendirian dalam keberdosaan kita. Inilah bentuk perhatian dan kasih sayang Allah, yang sekalipun begitu murka melihat segala dosa kita, namun kasih-Nya menutupi segala pelanggaran kita di atas kayu salib. Dan itu semua dimulai dengan peristiwa Natal.

Ketika kita merayakan Natal, mari kita kembali kepada Yesus. Sebab merayakan Natal berarti merayakan Kristus. Segala sesuatu yang bukan untuk merayakan Kristus bukanlah perayaan Natal.

Back to the Christmas, meaning:
1.       Kembali pada kesederhanaan Natal. Bukan rumah sakit bersalin, tapi kandang hewan. Bukan spring bed tapi palungan. Itu berarti bahwa untuk menyambut Natal, kita tidak harus punya segala sesuatu baru kita merasa pantas menyambut Natal, tapi juga tidak berarti kita tidak menyiapkan sesuatu untuk menyambut Natal. Yang paling diperlukan untuk menyambut Natal adalah Kandang Jiwa dan Palungan Hati agar Juruselamat dapat masuk dan tinggal di dalamnya, dan mengerjakan perubahan-perubahan yang Ia anggap perlu untuk kita alami.
2.       Kembali pada tujuan Natal yang semula: Juruslamat datang untuk menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka. Tapi banyak orang yang merayakan Natal justru menyambut kedatangan Santa Claus yang membagi-bagikan hadiah. Padahal kedatangan Yesus Kristus ke dalam dunia adalah untuk memberikan hadiah yang jauh lebih berharga dibandingkan semua hadiah dalam dunia. Ia memberikan diri-Nya sendiri sebagai hadiah yang paling diperlukan semua orang di dunia ini. Keselamatan! Ia datang untuk menyelamatkan Saudara dan saya. Tindak lanjutnya, sudahkah kita yang diselamatkan oleh-Nya memberi diri dipakai oleh Allah untuk menjadi alat-Nya memberitakan keselamatan kepada orang-orang disekitar Saudara?

3.       Kembali pada sikap hati para gembala dan orang-orang Majus menyambut Natal. Ketika mereka berjumpa dengan bayi Yesus, maka sangat bersukacitalah mereka. Perjumpaan dengan Juruselamat mendatangkan sukacita yang besar. Sukacita yg sama membuat para gembala kembali ke tempat tugasnya, ke kehidupannya, sambil memuji dan memuliakan Allah. Ketika Allah datang ke dunia untuk menyapa umat-Nya, maka sekelompok orang meresponinya dengan sukacita yang besar dan puji-pujian untuk kemuliaan Allah. Apakah mengalami kehadiran Allah yang tinggal di hati membuat kita bersukacita? Apakah sukacita itu membuat kita memuliakan Allah lewat kehidupan sehari-hari?

Christmas Gift

Mana yang lebih menyenangkan? Menerima hadiah atau memberi hadiah? Tentu kita lebih senang menjadi pihak yang menerima hadiah, bukan? Siapa sih yang tidak senang kalo dapat hadiah? Apalagi di hari Natal. Bukankah hadiah Natal yang kita terima biasanya cukup berkesan? Bukankah kita membayangkan hadiah apa yang akan kita terima kali ini? Apakah seperti yang kita inginkan? Atau kalau yang kita terima tidak seperti yang kita inginkan, apa yang akan menjadi reaksi kita? Apakah kita akan marah karena kita merasa pantas untuk menerima yang lebih baik? Atau kita menerimanya dengan wajah cemberut? Mendapat hadiah harusnya menjadi sesuatu yang menyenangkan, apapun bentuknya. 

Hadiah sendiri berarti:
1 pemberian (kenang-kenangan, penghargaan, penghormatan): ia menerima bermacam-macam -- pd perayaan ulang tahunnya kemarin; 2 ganjaran (krn memenangkan suatu perlombaan): panitia menyediakan -- uang dan piala bagi pemenang pertama; 3 tanda kenang-kenangan (tt perpisahan); cendera mata: pd pesta perpisahan itu, kami menyampaikan -- untuk yg pergi; 

Seringkali waktu menerima hadiah, kita merasa pantas menerimanya. Bukankah artian diatas tadi menunjukkan bahwa hadiah diberikan sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan akan apa yang telah kita capai? Atau sebuah kenang-kenangan sebagai penanda bahwa kita telah memiliki tempat tersendiri dalam hati mereka.

Apakah kita pernah berpikir sebaliknya? Pantaskah saya menerima hadiah tersebut? Apakah yang telah saya lakukan bagi mereka sehingga saya layak mendapatkan hadiah ini? Ketika saya menerimanya, apakah itu berarti saya sudah selesai memberi sumbangsih kepada mereka, atau hadiah itu hanya sebuah bentuk dorongan supaya saya meningkatkan sumbangsih saya di waktu-waktu berikutnya. Kalau begitu, apakah yang kita terima itu menunjukkan kemampuan kita atau justru menunjukkan keterbatasan kemampuan kita sehingga perlu diberi suplemen bernama hadiah?

Setuju atau tidak, terkadang beberapa orang menganggap hadiah sebagai bentuk pengakuan akan eksistensi mereka. Banyak yang berakhir kecewa dan putus asa karena menujukan hidup mereka kepada hadiah yang dapat mereka terima di dunia. Ketika tidak ada hadiah, maka tidak ada eksistensi, tidak ada karya. Hadiah menjadi sebuah ukuran potensi dan kompentensi kita. Mengharapkan hadiah dengan tujuan seperti itulah yang seringkali menjebak banyak orang untuk berbuat dosa.

Hari ini mari kita memikirkan tentang hadiah yang lain, yang bukan berasal dari dunia ini. Hadiah yang diberikan bukan karena kita layak dan pantas menerimanya. Juga bukan sebagai dorongan agar kita lebih bekerja keras untuk pencapaian yang lebih tinggi dalam kehidupan. Hadiah itu berasal dari Sorga. Hadiah itu diberikan ke dalam hati manusia. Hadiah itu adalah Yesus Kristus. Dia menjadi hadiah yang jauh melebihi hadiah yang bisa kita dapatkan di dunia. Yesus adalah hadiah yang abadi.

Namun, apakah kita benar-benar mengharapkan-Nya menjadi sebuah hadiah untuk hati? Apakah kita benar-benar mengharapkan-Nya menjadi penanda sebuah perubahan besar dalam hidup? Kalau untuk hadiah duniawi yang mungkin kita pantas untuk mendapatkannya, bagaimana dengan hadiah dari Allah ini? Bukankah keberdosaan kita membuat kita tidak layak menerima sesuatu yang baik dari Allah yang suci? Bagaimana mungkin seseorang yang tidak layak justru diberikan sebuah hadiah untuk melayakkan orang tersebut di hadapan Allah. Tapi itulah yang Allah lakukan. Ketika Allah mengutus Yesus Kristus, Anak-Nya, dan memberi kita Sang Hadiah Utama, Dia memberikannya kepada kita ketika kita masih menjadi musuh-Nya. Roma 5:8 mengatakan bahwa “akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.” Kita tidak mengorbankan apapun untuk layak menerima kebaikan serta karunia-Nya. Betapa kita bersyukur akan hadiah yang diberikan-Nya. Dengan hadiah itu kita beroleh jalan masuk ke hadirat-Nya lagi. Oleh sebab itu, saya menyimpulkan seperti ini:
1.       Hadiah yang diberikan Allah menunjukkan ketidakpantasan manusia untuk menerima hadiah apapun berdasarkan apa yang ia telah perbuat (Efesus 2:8-9).
2.       Hadiah yang diberikan Allah menunjukkan bahwa apresiasi/penghargaan yang benar dimulai dengan pemulihan kehidupan yang dikerjakan oleh-Nya. Tanpa pemulihan tidak ada apresiasi diri yang benar.
3.       Hadiah yang diberikan Allah memberi kita kesempatan untuk turut menghargai apa yang Allah lakukan dalam diri seseorang.

Sehingga, jika kita menerima hadiah Natal apapun tahun ini kita akan mengingat:
1.       Hadiah Natal yang sesungguhnya adalah Yesus sendiri, dan itu tidak bisa digantikan dengan apapun juga. Tidak ada yang serupa seperti-Nya, tidak ada yang sama seperti diri-Nya.
2.       Semua pemberian yang baik berasal dari Allah, supaya kita terus mengingat dan mensyukuri karya-Nya dalam hidup. Hati yang bersyukur adalah jembatan menuju kesadaran rohani bahwa kita perlu terus bergantung kepada-Nya ditengah-tengah keterbatasan kita.
3.       Hidup saya bukan sekedar menerima hadiah tapi berbagi hadiah kehidupan yang telah saya terima dari Tuhan. Saya akan memberi hidup saya bagi sesama supaya saya dapat terus melihat apa yang dilakukan Allah dalam kehidupan orang-orang disekitar saya.


Sekarang pertanyaannya bukanlah hadiah apa yang akan saya terima pada Natal kali ini, tetapi, hadiah apa yang akan saya persembahkan kepada Allah dan diberikan kepada sesama kali ini? 

Sabtu, 07 Desember 2013

(Hanya) sebuah permen…

Siang itu saya datang ke sebuah cabang bank swasta terkenal di Indonesia. Setelah diberi nomor antrian, saya pun menunggu di sebuah sofa panjang yang cukup nyaman. Tak lama kemudian datang seorang staf CS membawa sebuah keranjang kecil. Sambil tersenyum tulus ia menawarkan permen yang ada di keranjang tersebut. “Silakan permennya, Pak.” demikian katanya. Saya pun mengambil permen itu dengan senang, tentu tak lupa mengucapkan terima kasih. Meskipun membagikan permen nampaknya adalah sebuah layanan yang sepele, ternyata hal itu dapat memberikan kesan tersendiri bagi saya. Lewat sebuah permen, sebagai nasabah saya merasa begitu dihargai.

Dari pengalaman saya tersebut, saya menarik beberapa kesimpulan. Pertama, pelayanan sekecil apapun jika dilakukan dengan sepenuh hati akan memberikan dampak yang maksimal. Terkadang kita bertemu beberapa orang yang hanya ingin melayani dalam hal-hal yang besar. Mereka menganggap bahwa dampak yang besar hanya bisa dicapai lewat layanan yang ‘besar’ pula. Mungkin mereka lupa bahwa segala sesuatu yang besar bermula dari hal-hal kecil dan sederhana yang dijalankan dengan konsisten. Tidak ada hasil yang instan. Bahkan dampaknya pun seringkali harus menunggu beberapa waktu tertentu untuk dapat dirasakan. Sebab itu, jika kita ingin maksimal, mulailah dengan setia mengerjakan apa yang nampaknya sederhana.

Kedua, pelayanan yang kecil dan sederhana itu membangun relasi dan kepercayaan orang lain. Kalau untuk hal-hal yang nampaknya remeh saja kita mengabaikannya, bagaimana mungkin orang dapat mempercayakan hal-hal yang besar kepada kita? Berdasarkan pengalaman di atas, saya tentu tidak akan mau menjadi nasabah jika bank tersebut tidak memberikan layanan yang baik kepada nasabahnya. Contoh lainnya, pernah juga saya tidak mendapatkan pelayanan yang semestinya dari beberapa rumah makan. Saya tidak mendapatkan sapaan yang ramah, penjelasan yang memadai ketika bertanya tentang menu yang ada, dan hal-hal kecil yang seharusnya menjadi standar sebuah rumah makan. Ketika saya mengalami hal itu, maka saya memutuskan untuk tidak lagi pergi kesana. Saya juga memberitahu rekan-rekan saya untuk tidak pergi kesana karena pelayanannya tidak maksimal. Sebaliknya, untuk rumah-rumah makan yang memperhatikan detil yang sederhana dari layanan mereka, tentu dengan senang hati saya akan mempromosikannya kepada orang lain.

Sekarang, mari kita memikirkan tentang pelayanan kita: pelayanan apa yang kita lakukan dan bagaimana cara kita melakukannya. Apakah tujuannya untuk kepuasan diri sendiri? Yaitu untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Atau kita melakukannya karena ingin membangun relasi yang lebih luas dan membangun kepercayaan jangka panjang untuk hasil yang lebih maksimal di masa depan?


Kadang-kadang itu dapat dimulai dengan sebuah permen…

Sabtu, 30 November 2013

Apartment 1303

Film ini memang bergenre horror...namun jika dibandingkan dengan film horror Indonesia ataupun Jepang, film ini masih kalah 'serem'. Para pemeran film ini pun namanya tidak terlalu terkenal - mungkin ini yang membuatnya sepi peminat. Bayangkan saja, 1 teater hanya 2 orang penontonnya...gak kebayang kerugian pihak studionya...

Sekarang, sedikit review filmnya:
Janet, anak bungsu dari seorang penyanyi wanita terkenal (pada masanya...), memutuskan tinggal disebuah apartment yang dekat dengan tempat kerjanya. Lara, si kakak, sudah berusaha melarang, namun Janet sudah terlanjur menandatangani kontrak sebuah apartment selama 1 tahun. Sebagai info, keluarganya bukanlah keluarga harmonis - sang ibu kecanduan narkoba, suka mabuk, dan pernikahan yang gagal.

Tragedi Janet bermula sejak hari pertama ia masuk ke apartment 1303 itu. Ia merasa ada yang aneh dengan apartment itu. Seperti ada penghuni lain di ruangan itu, namun ia tidak lihat ada seorangpun disana. Ia juga bertemu seorang anak perempuan tetangganya, namanya Emily, dan ia diberitahu bahwa kamar 1303 itu berhantu, karena ada seorang perempuan muda yang lompat dari balkonnya. Singkat cerita, Janet memilih tetap bertahan disana meskipun ia mengalami gangguan sehingga seluruh tubuhnya memar. Malangnya, suatu pagi, Janet ditemukan pacarnya terjatuh dari balkon - guess who did it?

Setelah kematian Janet, Lara dan Mark (pacarnya Janet) berusaha menyelidiki penyebab kematian Janet. Lara pun memutuskan tinggal di apartment 1303 itu, dan segera saja ia mengalami hal-hal yang aneh. Penyidik dari kepolisian menyampaikan bahwa sudah ada 4 korban yang lompat dari balkon apartment itu. Korban pertama adalah seorang perempuan muda yang lompat dari balkon itu setelah ia membunuh ibunya dan menyimpan mayatnya dalam lemari selama 6 bulan. Setelah peristiwa itu siapapun penyewa apartment itu akhirnya mati karena jatuh dari balkon itu - guess who did it?

Kisah ini berakhir tragis, ketika Lara tanpa sengaja menusuk ibunya dengan pisau, sementara Mark sudah terkapar lebih dulu karena dilemparkan ke pagar balkon oleh si 'ghost'. Kisah ini pun berakhir dengan ditangkapnya Lara oleh polisi. Sementara itu, apartment 1303 masih tetap berhantu....

Dari kisah film ini ada beberapa hal yang menarik untuk disimak:

  1. Masalah Mendengar. Janet, dan juga Lara, tidak mau mendengar peringatan untuk tidak kembali ke apartment itu. Kadang-kadang kita juga suka begitu lho...udah dikasih tau yang benar, eh tetep kekeuh melakukan apa yang kita mau...dan ketika semua sudah terjadi...it's to latee...Pelajaran penting: mari memakai telinga kita dengan benar...
  2. Masalah Keluarga. Baik Janet, Lara, dan juga ibunya, mereka punya masalah yang sama: keluarga yang tidak harmonis. Masing-masing berusaha mencari pelarian: ada yang mabuk, sibuk bekerja, hingga pindah rumah. Pelajaran penting: jangan kabur dari masalah, dan jangan mencari pelarian yang keliru. Hadapi masalah kita dan selesaikan...
  3. Masalah Rohani. Janet beberapa kali menyebut nama Tuhan, tapi memiliki kehidupan yang tanpa iman kepada-Nya. Lara, Janet dan juga ibunya, tidak melibatkan Tuhan sama sekali dalam kehidupan mereka.Tidak heran kalau ia lebih takut kepada kuasa gelap...Pelajaran penting: Apakah menyebut nama Tuhan muncul dari hati yang mengasihi-Nya ataukah hanya sekedar gaya ungkapan bahasa semata yang tanpa arti? 
Well...film ini memang tidak istimewa, tapi paling tidak bisa memberi beberapa pelajaran berharga.
Nonton lagi aaahhh....