Mana yang lebih menyenangkan?
Menerima hadiah atau memberi hadiah? Tentu kita lebih senang menjadi pihak yang
menerima hadiah, bukan? Siapa sih yang tidak senang kalo dapat hadiah? Apalagi
di hari Natal. Bukankah hadiah Natal yang kita terima biasanya cukup berkesan?
Bukankah kita membayangkan hadiah apa yang akan kita terima kali ini? Apakah
seperti yang kita inginkan? Atau kalau yang kita terima tidak seperti yang kita
inginkan, apa yang akan menjadi reaksi kita? Apakah kita akan marah karena kita
merasa pantas untuk menerima yang lebih baik? Atau kita menerimanya dengan
wajah cemberut? Mendapat hadiah harusnya menjadi sesuatu yang menyenangkan,
apapun bentuknya.
Hadiah sendiri berarti:
1 pemberian (kenang-kenangan, penghargaan, penghormatan): ia menerima bermacam-macam -- pd
perayaan ulang tahunnya kemarin; 2 ganjaran (krn memenangkan suatu
perlombaan): panitia
menyediakan -- uang dan piala bagi pemenang pertama; 3 tanda kenang-kenangan (tt perpisahan);
cendera mata: pd pesta
perpisahan itu, kami menyampaikan -- untuk yg pergi;
Seringkali waktu menerima hadiah,
kita merasa pantas menerimanya. Bukankah artian diatas tadi menunjukkan bahwa
hadiah diberikan sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan akan apa yang
telah kita capai? Atau sebuah kenang-kenangan sebagai penanda bahwa kita telah
memiliki tempat tersendiri dalam hati mereka.
Apakah kita pernah berpikir
sebaliknya? Pantaskah saya menerima hadiah tersebut? Apakah yang telah saya
lakukan bagi mereka sehingga saya layak mendapatkan hadiah ini? Ketika saya
menerimanya, apakah itu berarti saya sudah selesai memberi sumbangsih kepada
mereka, atau hadiah itu hanya sebuah bentuk dorongan supaya saya meningkatkan
sumbangsih saya di waktu-waktu berikutnya. Kalau begitu, apakah yang kita
terima itu menunjukkan kemampuan kita atau justru menunjukkan keterbatasan
kemampuan kita sehingga perlu diberi suplemen bernama hadiah?
Setuju atau tidak, terkadang
beberapa orang menganggap hadiah sebagai bentuk pengakuan akan eksistensi
mereka. Banyak yang berakhir kecewa dan putus asa karena menujukan hidup mereka
kepada hadiah yang dapat mereka terima di dunia. Ketika tidak ada hadiah, maka
tidak ada eksistensi, tidak ada karya. Hadiah menjadi sebuah ukuran potensi dan
kompentensi kita. Mengharapkan hadiah dengan tujuan seperti itulah yang
seringkali menjebak banyak orang untuk berbuat dosa.
Hari ini mari kita memikirkan
tentang hadiah yang lain, yang bukan berasal dari dunia ini. Hadiah yang
diberikan bukan karena kita layak dan pantas menerimanya. Juga bukan sebagai
dorongan agar kita lebih bekerja keras untuk pencapaian yang lebih tinggi dalam
kehidupan. Hadiah itu berasal dari Sorga. Hadiah itu diberikan ke dalam hati
manusia. Hadiah itu adalah Yesus Kristus. Dia menjadi hadiah yang jauh melebihi
hadiah yang bisa kita dapatkan di dunia. Yesus adalah hadiah yang abadi.
Namun, apakah kita benar-benar
mengharapkan-Nya menjadi sebuah hadiah untuk hati? Apakah kita benar-benar
mengharapkan-Nya menjadi penanda sebuah perubahan besar dalam hidup? Kalau
untuk hadiah duniawi yang mungkin kita pantas untuk mendapatkannya, bagaimana
dengan hadiah dari Allah ini? Bukankah keberdosaan kita membuat kita tidak
layak menerima sesuatu yang baik dari Allah yang suci? Bagaimana mungkin
seseorang yang tidak layak justru diberikan sebuah hadiah untuk melayakkan
orang tersebut di hadapan Allah. Tapi itulah yang Allah lakukan. Ketika Allah
mengutus Yesus Kristus, Anak-Nya, dan memberi kita Sang Hadiah Utama, Dia
memberikannya kepada kita ketika kita masih menjadi musuh-Nya. Roma 5:8
mengatakan bahwa “akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh
karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.” Kita tidak
mengorbankan apapun untuk layak menerima kebaikan serta karunia-Nya. Betapa
kita bersyukur akan hadiah yang diberikan-Nya. Dengan hadiah itu kita beroleh
jalan masuk ke hadirat-Nya lagi. Oleh sebab itu, saya menyimpulkan seperti ini:
1. Hadiah
yang diberikan Allah menunjukkan ketidakpantasan manusia untuk menerima hadiah
apapun berdasarkan apa yang ia telah perbuat (Efesus 2:8-9).
2. Hadiah
yang diberikan Allah menunjukkan bahwa apresiasi/penghargaan yang benar dimulai
dengan pemulihan kehidupan yang dikerjakan oleh-Nya. Tanpa pemulihan tidak ada
apresiasi diri yang benar.
3. Hadiah
yang diberikan Allah memberi kita kesempatan untuk turut menghargai apa yang
Allah lakukan dalam diri seseorang.
Sehingga, jika kita menerima
hadiah Natal apapun tahun ini kita akan mengingat:
1. Hadiah
Natal yang sesungguhnya adalah Yesus sendiri, dan itu tidak bisa digantikan
dengan apapun juga. Tidak ada yang serupa seperti-Nya, tidak ada yang sama
seperti diri-Nya.
2. Semua
pemberian yang baik berasal dari Allah, supaya kita terus mengingat dan
mensyukuri karya-Nya dalam hidup. Hati yang bersyukur adalah jembatan menuju
kesadaran rohani bahwa kita perlu terus bergantung kepada-Nya ditengah-tengah
keterbatasan kita.
3. Hidup
saya bukan sekedar menerima hadiah tapi berbagi hadiah kehidupan yang telah
saya terima dari Tuhan. Saya akan memberi hidup saya bagi sesama supaya saya
dapat terus melihat apa yang dilakukan Allah dalam kehidupan orang-orang
disekitar saya.
Sekarang pertanyaannya bukanlah
hadiah apa yang akan saya terima pada Natal kali ini, tetapi, hadiah apa yang
akan saya persembahkan kepada Allah dan diberikan kepada sesama kali ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar