Kamis, 26 Desember 2013

Christmas Gift

Mana yang lebih menyenangkan? Menerima hadiah atau memberi hadiah? Tentu kita lebih senang menjadi pihak yang menerima hadiah, bukan? Siapa sih yang tidak senang kalo dapat hadiah? Apalagi di hari Natal. Bukankah hadiah Natal yang kita terima biasanya cukup berkesan? Bukankah kita membayangkan hadiah apa yang akan kita terima kali ini? Apakah seperti yang kita inginkan? Atau kalau yang kita terima tidak seperti yang kita inginkan, apa yang akan menjadi reaksi kita? Apakah kita akan marah karena kita merasa pantas untuk menerima yang lebih baik? Atau kita menerimanya dengan wajah cemberut? Mendapat hadiah harusnya menjadi sesuatu yang menyenangkan, apapun bentuknya. 

Hadiah sendiri berarti:
1 pemberian (kenang-kenangan, penghargaan, penghormatan): ia menerima bermacam-macam -- pd perayaan ulang tahunnya kemarin; 2 ganjaran (krn memenangkan suatu perlombaan): panitia menyediakan -- uang dan piala bagi pemenang pertama; 3 tanda kenang-kenangan (tt perpisahan); cendera mata: pd pesta perpisahan itu, kami menyampaikan -- untuk yg pergi; 

Seringkali waktu menerima hadiah, kita merasa pantas menerimanya. Bukankah artian diatas tadi menunjukkan bahwa hadiah diberikan sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan akan apa yang telah kita capai? Atau sebuah kenang-kenangan sebagai penanda bahwa kita telah memiliki tempat tersendiri dalam hati mereka.

Apakah kita pernah berpikir sebaliknya? Pantaskah saya menerima hadiah tersebut? Apakah yang telah saya lakukan bagi mereka sehingga saya layak mendapatkan hadiah ini? Ketika saya menerimanya, apakah itu berarti saya sudah selesai memberi sumbangsih kepada mereka, atau hadiah itu hanya sebuah bentuk dorongan supaya saya meningkatkan sumbangsih saya di waktu-waktu berikutnya. Kalau begitu, apakah yang kita terima itu menunjukkan kemampuan kita atau justru menunjukkan keterbatasan kemampuan kita sehingga perlu diberi suplemen bernama hadiah?

Setuju atau tidak, terkadang beberapa orang menganggap hadiah sebagai bentuk pengakuan akan eksistensi mereka. Banyak yang berakhir kecewa dan putus asa karena menujukan hidup mereka kepada hadiah yang dapat mereka terima di dunia. Ketika tidak ada hadiah, maka tidak ada eksistensi, tidak ada karya. Hadiah menjadi sebuah ukuran potensi dan kompentensi kita. Mengharapkan hadiah dengan tujuan seperti itulah yang seringkali menjebak banyak orang untuk berbuat dosa.

Hari ini mari kita memikirkan tentang hadiah yang lain, yang bukan berasal dari dunia ini. Hadiah yang diberikan bukan karena kita layak dan pantas menerimanya. Juga bukan sebagai dorongan agar kita lebih bekerja keras untuk pencapaian yang lebih tinggi dalam kehidupan. Hadiah itu berasal dari Sorga. Hadiah itu diberikan ke dalam hati manusia. Hadiah itu adalah Yesus Kristus. Dia menjadi hadiah yang jauh melebihi hadiah yang bisa kita dapatkan di dunia. Yesus adalah hadiah yang abadi.

Namun, apakah kita benar-benar mengharapkan-Nya menjadi sebuah hadiah untuk hati? Apakah kita benar-benar mengharapkan-Nya menjadi penanda sebuah perubahan besar dalam hidup? Kalau untuk hadiah duniawi yang mungkin kita pantas untuk mendapatkannya, bagaimana dengan hadiah dari Allah ini? Bukankah keberdosaan kita membuat kita tidak layak menerima sesuatu yang baik dari Allah yang suci? Bagaimana mungkin seseorang yang tidak layak justru diberikan sebuah hadiah untuk melayakkan orang tersebut di hadapan Allah. Tapi itulah yang Allah lakukan. Ketika Allah mengutus Yesus Kristus, Anak-Nya, dan memberi kita Sang Hadiah Utama, Dia memberikannya kepada kita ketika kita masih menjadi musuh-Nya. Roma 5:8 mengatakan bahwa “akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.” Kita tidak mengorbankan apapun untuk layak menerima kebaikan serta karunia-Nya. Betapa kita bersyukur akan hadiah yang diberikan-Nya. Dengan hadiah itu kita beroleh jalan masuk ke hadirat-Nya lagi. Oleh sebab itu, saya menyimpulkan seperti ini:
1.       Hadiah yang diberikan Allah menunjukkan ketidakpantasan manusia untuk menerima hadiah apapun berdasarkan apa yang ia telah perbuat (Efesus 2:8-9).
2.       Hadiah yang diberikan Allah menunjukkan bahwa apresiasi/penghargaan yang benar dimulai dengan pemulihan kehidupan yang dikerjakan oleh-Nya. Tanpa pemulihan tidak ada apresiasi diri yang benar.
3.       Hadiah yang diberikan Allah memberi kita kesempatan untuk turut menghargai apa yang Allah lakukan dalam diri seseorang.

Sehingga, jika kita menerima hadiah Natal apapun tahun ini kita akan mengingat:
1.       Hadiah Natal yang sesungguhnya adalah Yesus sendiri, dan itu tidak bisa digantikan dengan apapun juga. Tidak ada yang serupa seperti-Nya, tidak ada yang sama seperti diri-Nya.
2.       Semua pemberian yang baik berasal dari Allah, supaya kita terus mengingat dan mensyukuri karya-Nya dalam hidup. Hati yang bersyukur adalah jembatan menuju kesadaran rohani bahwa kita perlu terus bergantung kepada-Nya ditengah-tengah keterbatasan kita.
3.       Hidup saya bukan sekedar menerima hadiah tapi berbagi hadiah kehidupan yang telah saya terima dari Tuhan. Saya akan memberi hidup saya bagi sesama supaya saya dapat terus melihat apa yang dilakukan Allah dalam kehidupan orang-orang disekitar saya.


Sekarang pertanyaannya bukanlah hadiah apa yang akan saya terima pada Natal kali ini, tetapi, hadiah apa yang akan saya persembahkan kepada Allah dan diberikan kepada sesama kali ini? 

Tidak ada komentar: