Jumat, 25 Maret 2016

Golgota...

Saya mencoba membayangkan kembali apa yang terjadi di bukit Golgota itu. Ada jeritan, tangis, cemooh dan caci maki dari orang-orang, juga tawa bahagia dari sekelompok orang yang puas karena berpikir rencana mereka sudah berhasil. Sementara di Sorga, para malaikat terdiam, namun tetap waspada, menyadari bahwa yang terjadi di bukit Golgota itu adalah bagian dari rencana Allah untuk membebaskan manusia, walau teramat pahit.

Dan ketika saya membayangkan kayu salib dimana Yesus terpaku atasnya, saya turut terdiam melihat kepala yang bermahkota duri, darah yang menetes disekujur tubuh, dan kesakitan meregang nyawa. Saya tak bisa membayangkan kesakitan yang lebih dari itu. Bukan sekedar sakit karena luka akibat siksaan, tapi juga sakit yang ditanggung karena penolakan manusia kepada keselamatan. Di bukit itu saya menyaksikan keegoisan manusia yang dengan sadar mengabaikan kenyataan bahwa mereka telah membunuh Tuhannya sendiri.

Kembali ke zaman ini, dua ribu tahun lebih telah berlalu. Golgota mungkin hanya tinggal kenangan. Tempatnya mungkin hanya menjadi lokasi sejarah yang dikunjungi banyak orang. Kini, bermunculan Golgota-golgota yang baru, bukan secara lahiriah, tapi secara batiniah. Bukan Golgota yang menjadi saksi keselamatan yang dikerjakan Allah dalam diri Yesus yang tersalib, tapi Golgota yang menjadi saksi keegoisan manusia yang hari ini terus bertumbuh dengan subur, dan dengan kesadaran yang penuh manusia berusaha menyalibkan Yesus untuk kesekian kalinya.

Dan mungkin saya termasuk golongan orang-orang yang berusaha menyalibkan-Nya untuk kesekian kalinya. Mungkin saya termasuk mereka yang menganggap Yesus harus mati lagi, lagi, dan lagi, untuk membuat kami jadi lebih berharga hari ini. Atau mungkin saya ingin menyalibkan-Nya lagi karena saya sesungguhnya adalah golongan Imam Kepala dan orang Farisi yang dianggap mengerti Hukum, yang selalu berpikir bahwa kami lebih baik dari kebanyakan orang, sehingga kami dapat menuduh orang yang berdosa. Mungkin saja, saya adalah golongan orang yang lebih mudah melihat selumbar di mata orang lain ketimbang balok di mata sendiri, sehingga saya seperti orang yang ada di menara gading kebenaran, sementara orang lain ada di lembah penuh kesalahan.

Mungkin Golgota kebanyakan orang hari ini, bukanlah tempat kengerian dan hukuman, yang sekaligus menjadi tempat Allah menunjukkan konsistensinya untuk mengasihi manusia berdosa. Mungkin Golgota kebanyakan orang hari ini, adalah tempat dimana kayu salib digantikan dengan kemapanan dan keinginan untuk memperkaya lahiriah manusia ketimbang batiniahnya. Kemapanan yang membuat manusia enggan untuk memikirkan penderitaan dan konsekuensi mengikut Yesus. Kemapanan yang membuat manusia terbuai dalam zona amannya, sehingga mulai menilai segala sesuatu dari perspektif dunia. Kemapanan yang membuat manusia kehilangan kepekaan akan hadirat Tuhan, dan mulai mempertanyakan kebenaran Allah dan semakin permisif dengan kebenaran versi dunia. Kemapanan yang membuat Yesus tidak lagi populer bagi para pengikut-Nya. Kemapanan yang membuat kerohanian menjadi barang usang, dan percaya kepada Tuhan tergantung "sinyal dan kondisi jaringan".

Saya tidak ingin Golgota saya menjadi seperti itu. Saya ingin seperti Maria, Yohanes, dan orang-orang lainnya, yang berani berdiri di garis depan menghadapi cemoohan orang-orang terhadap Yesus. Saya ingin meneladani Yesus yang tidak membalas cacian dengan cacian, makian dengan makian, hinaan dengan hinaan. Saya ingin seperti Yesus yang dengan rendah hati mengampuni orang-orang yang berbuat jahat kepada-Nya, sekalipun Ia ada dalam keadaan kesakitan. Saya ingin Golgota mula-mula itu, tetap menjaga dan mengingatkan saya, bahwa hidup saya hari ini ada karena anugerah Allah yang mengalir di Golgota.

Golgota juga kiranya mengingatkan saya bahwa kebaikan dapat membuahkan penolakan. Tapi, kasih tak pernah gagal. Golgota menunjukkan kemenangan kasih atas kegagalan manusia mencerna kebaikan Allah. Golgota mengingatkan saya bahwa Tuhan tak pernah menyerah atas manusia, termasuk diri saya, berapapun banyaknya usaha saya untuk menjauh daripada-Nya.

(Terima kasih Tuhan, untuk kayu salib, untuk Golgota. Tanpa itu hidup saya tak akan berbeda).

Tidak ada komentar: